sehatnews.id – Menjadi dokter ahli olahraga di PBSI pada 1994, Dr. Michael Triangto sempat menangani sejumlah atlet top bulutangkis Indonesia, sebut saja ratu bulutangkis Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Ternyata minatnya pada bidang kedokteran olahraga merupakan sebuah ‘kecelakaan’.
Dr. Michael muda sejatinya ingin menjadi dokter ahli kebidanan. “Ketika bertugas di Maluku saya banyak menangani kasus-kasus persalinan. Rumah sakit itu merupakan rujukan untuk kasus-kasus kebidanan,” ceritanya.
Pulang ke Jakarta ia mantap masuk pendidikan dokter spesialis kebidanan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Sayang ia tidak diterima karena sulit dan persaingan sangat ketat. “Ternyata saya terlalu percaya diri. Ketika di Maluku saya dikenal luas masyarakat dan banyak dicari-cari. Di Jakarta kondisi ternyata sangat berbeda,” kenang suami Dr. Meidy Triangto, Sp.RM ini.
Atas saran seorang teman, ia mendaftar ke Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga. Waktu itu bidang kedokteran olahraga baru dibuka. “Saya mendaftar di angkatan kedua dan diterima. Saat itu bidang kedokteran olahraga masih sama sekali baru. Panutan dokter spesialis olahraga baru ada Dr. Sadoso yang ketika itu rutin menulis di media massa,” tuturnya.
Program Studi Spesialis Kedokteran Olahraga di FKUI dibuka tahun 1990. Pembukaan prodi ini karena permintaan Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Abdul Gafur, demi peningkatan kualitas dan prestasi atlet Indonesia. Pendiri prodi ini adalah ahli ortopedi Prof. Dr. Chehab Rukmi Hilmy. “Beliau adalah Ketua Pendidikan Dokter Spesialis Olahraga saat itu,” katanya.
Saat menjalani pendidikan Dr. Michael menyadari ternyata dokter olahraga memiliki cakupan yang luas. Ia bisa seperti Dr. Sadoso yang berlari di lapangan mengenakan celana training dan kaus polo. Di lain waktu ia juga bisa tampil layaknya seorang dokter lengkap dengan pakaian resmi atau jas putih. “Kami bisa di lapangan olahraga dan rumah sakit. Ada banyak peluang yang masih belum dibuka,” ujar dokter berusia 61 tahun ini.
Cukup banyak masyarakat yang membutuhkan pelayanan dokter ahli olahraga. “Mulai dari atlet yang ingin berprestasi, orang yang ingin olahraga seperti atlet, orang yang ingin olahraga agar lebih sehat, lalu orang yang berpikir dirinya tidak bisa olahraga karena sakit. Ada juga orang yang ingin sehat tanpa atau minimal menggunakan obat, atau orang yang ingin mencegah penyakit dengan rajin olahraga,” paparnya.
Lulus dari pendidikan dokter spesialis, Prof. Chehab mendorongnya untuk membuka klinik. Ia pun membuka klinik di mal Ciputra, Jakarta Barat. Di situ ia berpraktik bersama rekan sesama dokter olahraga. Sampai kini ia masih terus berpraktik di klinik dan rumah sakit di Jakarta.
Dr. Michael aktif di PBSI mulai tahun 1994 ketika tim bulutangkis Indonesia sangat berjaya. “Saya mendampingi Susi Susanti, Sarwendah, Yuni Kartika, Alan Budikusuma, Haryanto Arbi, Ardi BW, Joko Supriyanto, Hendrawan. Ketika itu tim bulutangkis Indonesia dua kali meraih Piala Thomas dan Piala Uber sekaligus,” ungkapnya.
Gelar di kejuaraan dunia, olimpiade, Asian Games, dan SEA Games pun direbut semua oleh tim Indonesia. “Hanya ada satu gelar juara yang tak berhasil diraih, gelar juara di Piala Sudirman,” katanya disusul tawa.
Bulutangkis adalah olahraga terpopuler kedua di Indonesia setelah sepak bola. “Ini olahraga yang sangat merakyat sekali seperti sepak bola di Brazil dan Argentina, sehingga mudah bagi kita menemukan bibit unggul. Di samping itu sistem pelatihan kita cukup maju pada saat itu. Saat ini boleh dibilang kekuatan bulutangkis dunia merata, ada banyak kekuatan baru seperti Jerman, Spanyol, India. Kekuatan bulutangkis dunia tak lagi hanya Tiongkok dan Indonesia. Apalagi pelatih Indonesia kan juga melatih di luar negeri,” katanya.
Ketika itu pun materi pemain benar-benar bagus. “Selain itu juga belum banyak gangguan. Pemain sangat fokus berlatih. Sekarang di Senayan saja kan sudah banyak mal dan hiburan,” tuturnya.
Lebih dari 30 tahun berlalu sejak Dr. Michael menempuh pendidikan dokter spesialis olahraga. “Kini persaingan untuk masuk ke program studi kedokteran olahraga sangat ketat. Ini karena belum banyak fakultas kedokteran yang memiliki program studi ini. Baru ada di FKUI,” ujarnya. (lin)