sehatnews.id – Kebijakan pembelajaran tatap muka di sekolah, di tengah masih belum melandainya angka kasus positif Covid-19 dan munculnya kembali kluster perkantoran, memicu kekhawatiran banyak pihak. Salah satunya Prof. dr. Menaldi Rasmin, Sp.P(K), spesialis paru konsultan di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta.
Dalam webinar bertema “FKUI Peduli Covid-19” yang digelar Jumat (4/6/2021), dia menegaskan bahwa untuk mencegah kluster baru Covid-19, seharusnya ada pembedaan antara pekerja kantoran dengan anak usia sekolah. Pekerja kantoran lebih mudah diatur untuk menjaga jarak, berbeda dengan siswa –apalagi yang usianya lebih muda– yang menjadikan bermain sebagai bagian dari belajar di sekolah.
“Harus diingat bahwa obat definitif untuk Covid-19 belum ditemukan. Kita juga belum tahu seberapa besar kejadian varian baru mutasi Covid-19. Seharusnya (besarnya kejadian varian baru) itu menjadi pertimbangan utama ketika kita hendak membuka pembelajaran tatap muka. Selama belum ada datanya, pembelajaran daring (dari rumah-Red) tetap yang harus dipilih,” ujar dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2004-2008 ini.
Pembelajaran daring tetap jadi pilihan utama karena kejadian ikutan bila tertular virus SARS-CoV-2 sangat berat. Upaya pencegahan penularan sangat penting dilakukan karena meski sembuh dari Covid-19 ada risiko gejala sisa berupa kelelahan terus-menerus, terjadinya penggumpalan darah, fibrosis di organ paru, dan lain-lain.
Ditambahkan, sejauh ini memang belum pernah ada kabar kejadian sakit Covid-19 yang parah pada anak, terutama kalau tidak punya komorbid atau penyakit penyerta. Namun, melihat banyaknya kasus Covid-19 pada orang dewasa atau ayah-ibu yang punya anak, bisa jadi sebetulnya anak-anak tersebut asimptomatik alias tanpa gejala.
“Itu juga bisa menjadi pegangan bahwa mungkin saja banyak anak carrier, yang bisa jadi akan menularkan kepada guru di sekolah atau orang tua ketika kembali ke rumah. Pemutusan rantai penularan harus tetap dilakukan dengan vaksinasi, akan lebih bagus bila anak juga divaksin, untuk membentuk kekebalan komunitas,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), Ketua PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dalam live IG yang digelar Minggu (6/6/2021) malam, menolak keras wacana tatap muka di sekolah. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah fatality rate (angka kematian) pada anak masih tinggi, di atas 5 persen.
“Betul bahwa anak adalah human capital sehingga perlu diperhatikan pendidikannya, tetapi dengan tetap mengedepankan hak hidup dan hak sehatnya. Keselamatan anak paling utama. Di Indonesia, fatality rate masih tinggi, sedangkan angka testing dan tracing sangat rendah. Belum lagi anak-anak yang tinggal di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal),” ujarnya.
Melihat situasi dan penyebaran Covid-19 yang ada di Indonesia, IDAI konsisten merekomendasikan belum saatnya pembukaan kembali pembelajaran tatap muka. Kepada orang tua, dia mengimbau agar menjadi orang tua pandemi yang kreatif dan bijak sehingga hak hidup, hak sehat, hak anak memperoleh pendidikan, tetap seimbang. (sar)