sehatnews.id – Di saat pandemi ini diabetes mellitus yang tak terkontrol dapat meningkatkan perburukan infeksi Covid-19, sehingga meningkatkan kebutuhan perawatan pasien di rumah sakit.
Pengendalian diabetes yang baik bisa menurunkan perburukan tersebut. Untuk mengendalikan diabetes perlu penatalaksanaan terus-menerus lewat pola makan sehat, olahraga teratur, dan bila perlu minum obat yang diresepkan dokter.
Sayangnya, dengan pembatasan mobilitas dan transportasi saat pandemi memburuk, diabetesi mengalami kesulitan untuk berkonsultasi. Hampir semua tenaga kesehatan fokus mengatasi Covid-19, sehingga menurunkan perhatian terhadap diabetes.
Kemajuan teknologi memungkinkan seseorang dari Papua berkonsultasi dengan seorang dokter ahli di Jakarta. Ini disebut telehealth yang mencakup edukasi kesehatan dan tata laksana kesehatan. Sementara telemedicine melalui komunikasi elektronik meningkatkan status kesehatan klinis pasien.
Pengobatan jarak jauh ini meliputi komponen audio dan visual. Ada yang real time, yaitu dokter dan dokter atau dokter dan pasien berbicara dan berdiskusi secara langsung. Bisa juga dengan konsultasi yang dijawab di lain waktu.
Telemedicine ini sudah memiliki aturan, yaitu Peraturan Konsili Kedokteran No.74 Tahun 2020 dan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI No.Hk 02.02/Menkes/303/2020 dan Surat Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran No.016/PB/K.MKEK/04/2020.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa dokter harus menyadari keterbatasan dalam telemedicine. Dokter yang boleh praktik di sini adalah yang punya surat tanda registrasi dan izin praktik. Telemedicine yang disarankan adalah yang diselenggarakan oleh fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit.
Pengobatan jarak jauh ini memudahkan distribusi layanan kesehatan. Semua orang dapat mengakses dokter tanpa bepergian. Waktu menjadi lebih singkat tanpa membeli tiket perjalanan. Juga mengurangi kontak orang dengan orang.
Fasilitas kesehatan ini juga mengurangi beban fasilitas kesehatan, sementara pasien dapat memperoleh informasi yang benar, bukan hoaks yang beredar di media sosial.
Namun, fasilitas pengobatan ini memiliki keterbatasan. Tanda vital, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, suhu, berat badan, dan tinggi badan tidak bisa diperiksa oleh dokter, hanya berdasarkan laporan pasien.
Ada juga keterbatasan pemeriksaan fisik. Dokter memerlukan waktu ekstra untuk melihat bagian tubuh tertentu. Dokter juga kesulitan ketika pasien dalam keadaan butuh tindakan berupa pencucian luka. Belum lagi pasien adalah lansia yang mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan.
Sebaiknya pasien dan keluarga sudah menyiapkan data pemeriksaan penunjang sebelum ikut pengobatan jarak jauh. Data itu misalnya hasil laboratorium dari pengambilan darah dan urin, laboratorium dan kultur dari dahak atau kultur dari luka jika ada indikasi, foto rontgen dada, lutut atau kaki jika ada keluhan, rekaman dan USG jantung jika ada indikasi, angiografi pembuluh darah koroner dan atau kaki jika ada indikasi, perekaman saraf tangan dan kaki jika ada indikasi, foto fundus dan USG pembuluh darah kaki.
Tak kalah penting, tanyakan hal yang belum mengerti saat bertemu dokter di dunia maya. Misalnya, petunjuk menjaga kesehatan, pemeriksaan lanjutan, konsultasi rujukan, memantau perkembangan penyakit sendiri di rumah, termasuk di antaranya pemantau glukosa darah, kapan memerlukan perawatan di rumah sakit, perubahan jenis obat, perubahan dosis obat, serta jadwal konsultasi jarak jauh berikutnya. (*)

*) dr. Johanes Purwoto, SpPD, KEMD, FINASIM. Alumnus FKUI ini adalah dokter spesialis penyakit dalam; konsultan endokrin, metabolik, dan diabetes. Praktik di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, RS Pantai Indah Kapuk, dan Mandaya Royal Hospital Puri.